Senin, 31 Januari 2011

La Galigo


La Galigo. Nama itu mungkin masih asing bagi sebagian besar kita. Maklum, ‘makhluk’ satu ini lama tersembunyi di peti sejarah. Namun, bagi masyarakat Bugis, dan sebagian kecil peneliti dan pecinta sastra, nama ini sudah akrab di telinga. Ia merupakan salah satu warisan besar dunia yang belum terpublikasi secara luas.
La Galigo merupakan epos milik Indonesia yang tak kalah hebatnya dengan epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Konon, inilah epos terpanjang di dunia. Sinopsisnya saja memakan 2851 halaman folio. Konon, naskah aslinya mencapai 300 ribu baris. Enam kali tebal buku Harry Potter seri ketujuh yang berjumlah 1008 halaman.
Uniknya La Galigo
Kisah La Galigo sendiri secara umum terbagi menjadi dua  bagian. Bagian pertama berkisah mengenai penciptaan langit dan bumi, asal usul kehadiran manusia, dan nenek moyang raja-raja Bugis. Bagian pertama ini dianggap sakral, sehingga tak boleh dibaca sembarang orang. Hanya kaum bangsawan saja yang diperkenankan membaca dan menyimpan naskah ini. Karena itu nggak heran, tak banyak yang bisa kita ketahui mengenai bagian pertama ini.
Sedang bagian kedua berkisah mengenai tokoh utama, Sawerigading dan putranya I La Galigo. Kedua tokoh ini sangat unik. Kenapa? Karena gambaran mengenai keduanya nggak sesuai banget dengan bayangan kita akan sosok tokoh utama dalam sebuah epos (kisah kepahlawanan).
Untuk mudahnya, coba deh ingat-ingat lagi kisah Mahabarata. Di sini tokoh utamanya adalah lima bersaudara Pandawa. Kelima tokoh ini digambarkan bijaksana, welas asih, setia pada kebenaran, dan mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan diri sendiri. Setiap membaca epos, kita sering disuguhi sosok tokoh utama dengan karakter ini. Tapi, di La Galigo, gambaran tokoh utamanya berbalik 180 derajat. Sawerigading dan I La Galigo digambarkan nakal, manja, dan keras kepala. Apa maunya selalu ingin diturutin, kalo nggak, bakal merajuk sampe ke langit. Duuh, puyeng deh.
Tapi, itulah uniknya La Galigo. Gambaran mengenai ketidaksempuraan tokoh-tokohnya inilah yang bikin banyak peneliti jatuh cinta. Melalui kisah La Galigo, kita justru secara tak langsung belajar, bahwa manusia setinggi apapun status kebangsawanannya tetaplah manusia biasa. Mereka juga punya kelemahan. Ini membuat, kita merasa tak berjarak dengan tokoh-tokohnya.  Menurut Nirwan Ahmad Arsuka, kurator Bentara Budaya Jakarta, kisah La Galigo jauh melampaui zamannya. Maksudnya, di saat epos-epos yang ada lebih banyak bercerita tentang kehebatan seorang tokoh utama, La Galigo justru menempatkan tokohnya sebagai manusia yang teramat sangat biasa meskipun mereka adalah anak cucu para dewa. Tokoh-tokoh La Galigo dilahirkan dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada. Bukankah penggambaran tokoh utama dengan model begini lebih banyak kita temui di zaman sekarang? Nah, itulah yang dimaksudkan dengan, kisah La Galigo ditulis jauh melampaui zamannya.
Kelahiran La Galigo
Bila memang La Galigo ditulis jauh melampaui zamannya, lalu kapankan karya sastra ini lahir? Tak diketahui pasti sih. Ada dugaan karya ini muncul pada awal-awal abad masehi. Kisah ini kemudian hidup dan berkembang di tengah masyarakat Sulawesi, Kalimantan dan Semenanjung melayu,  Kisah ini ditulis dalam bahasa Bugis kuno yang arkaik, alias bahasa yang gak lazim dipakai. Kisah ini diceritakan secara lisan maupun tulisan. Tak diketahui pasti siapa yang mengarang kisah ini. Menurut penelitian yang dilakukan terhadap karya La Galigo sendiri, besar kemungkinan ditulis oleh perempuan bangsawan. Kesimpulan ini didasarkan pada dua hal. Pertama, adanya kerancuan geografis di La Galigo. Tempat yang jauh, disebutkan dicapai hanya dalam waktu sebentar. Sementara tempat yang sebenarnya dekat, dicapai dalam waktu berbulan-bulan. Ini menandakan si pembuatnya orang yang tak tahu dunia perlayaran. Kedua, La Galigo menggambarkan secara detil upacara adat Bugis. Hal ini hanya mungkin diceritakan oleh seorang perempuan bangsawan. Hmm, kalo emang bener demikian, kaum cewek patut berbangga tuh. Karena bukan cuma cowok aja yang bisa buat epos hebat, cewek juga bisa.
Sejarah La Galigo
Epos La Galigo atau biasa juga dikenal dengan I La Galigo merupakan karya sastra (epos) yang terpanjang di dunia. La Galigo adalah hasil karya sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja langit bernama La Patiganna. Disebutkan pula bahwa epos ini bercerita tentang Sawerigading, seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani.
La Galigo sebenarnya tidak tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos-mitos. Namun, epos La Galigo tetap dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Struktur Cerita
Alurteks
Sumber: PortalBugis
La Galigo mempunyai struktur cerita yang besar dan panjang. Ia memuat beberapa sub cerita di dalamnya. Sub cerita yang disebut episode pun dapat dilihat dari dua dimensi. Di satu sisi, episode tersebut merupakan bagian cerita dari keseluruhan La Galigo namun di sisi yang lain episode tersebut juga merupakan cerita tersendiri dalam bingkai La Galigo.
Hal ini disebabkan antara lain karena panjangnya cerita yang melingkupi setiap tokoh, sehingga kadang-kadang tidak tertampung hanya dalam satu episode. Terkadang satu cerita terdapat pada dua atau tiga episode, hal tersebut tergantung banyaknya peristiwa yang diceritakan.
Kandungan La Galigo
Epos bermula dengan penciptaan dunia. Ketika dunia masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), raja langit, La Patiganna, mengadakan musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan berupa pelantikan anak lelaki raja langit yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (bumi) dan memakai gelar Batara Guru. Sebelum turun ke bumi, ia harus melalui masa ujian selama 40 hari 40 malam. Tidak lama sesudah ujian tersebut, Batara Guru kemudian turun ke bumi, di Ussu’, daerah Luwu’ yang saat ini menjadi Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Di kemudian hari, La Toge’ langi’ menikahi sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, raja alam gaib. Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. La Tiuleng sendiri lalu mendapatkan dua orang anak kembar bernama Lawe atau Sawerigading dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar tersebut tidak dibesarkan bersama-sama sehingga pada suatu saat Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng akibat ketidaktahuannya bahwa mereka masih bersaudara. Ketika ia mengetahui hal tersebut, ia lantas meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi.
Sawerigading lantas melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Tiongkok. Selama perjalanan ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk pemerintah Jawa Wolio yakni Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia lantas menikahi putri Tiongkok bernama We Cudai.
Sawerigading sendiri digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa. Ia pernah mengunjungi berbagai macam tempat, seperti Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (diduga Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (diduga Sunda Timur dan Sunda Barat) serta Melaka. Ia pun dikisahkan pernah mengunjungi surga dan alam gaib.
Sawerigading sendiri dikisahkan merupakan ayah dari La Galigo yang kemudian bergelar Datunna Kelling. La Galigo juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, perantau, dan pahlawan yang hebat. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari berbagai negara. Namun, seperti ayahnya pula, La Galigo dikisahkan tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki La Galigo yang bernama La Tenritatta’ lah yang dikisahkan terakhir dinobatkan menjadi raja di Luwu’.
* * *
Isi epos ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan pemukiman yang berpusat di muara sungai, tempat kapal-kapal besar boleh berlabuh. Pusat pemerintahan pun yang terdiri dari istana dan rumah-rumah bangsawan terletak berdekatan dengan muara sungai. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang asing disambut baik di kerajaan Bugis. Para pedagang tersebut baru boleh berniaga setelah membayar cukai kepada pemerintah. Perniagaan ketika itu menggunakan sistem barter. Ketika itu, laut menjadi media yang sangat penting untuk saling berhubungan antar kerajaan. Golongan muda bangsawan di Bugis ketika itu pun dianjurkan untuk merantau sejauh mungkin sebelum mereka diberi tanggung jawab yang besar.
Pementasan La Galigo di Eropa
4620_106552460308_106369150308_3169663_2295307_n
La Galigo telah dipentaskan di beberapa negara Eropa. Pada tahun 2004, La Galigo dipentaskan di Belanda, Perancis, dan Amerika. Pementasan tersebut mendapatkan respon yang sangat positif dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, koran The New York Times yang biasanya sangat kritis memberikan komentar yang positif. Pementasan La Galigo tersebut terlaksana di bawah bimbingan Robert Wilson, yang sayangnya seorang seniman teater dari Amerika Serikat dan bukan dari negeri sendiri. Sehingga pada akhirnya cerita diadaptasi dan merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makassar.
Naskah La Galigo
Informasi mengenai salinan naskah-naskah La Galigo sebagian besar terdapat di perpustakaan Leiden, Belanda. Naskah lainnya juga terdapat di Jakarta, yakni di perpustakaan Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memiliki 15 buah naskah Bugis.
* * *
Oya, sekedar menambahkan, I La Galigo juga mempunyai page tersendiri di Facebook. Bagi kawan-kawan yang tertarik dengan La Galigo, dapat bergabung ke dalam page tersebut ;)
Terimakasih                                                                                                                                    Pentas Makduta ini menceritakan tentang Sawerigading yang melamar We Cudai. Sawerigading merupakan simbol laki-laki Bugis yang cakap, baik dan patuh kepada keluarganya. Sawerigading semula jatuh cinta pada We Tenriyabeng yang sebenarnya adalah saudara kembarnya. Mereka tidak saling mengenal, karena mereka dipisahkan sejak dilahirkan. Namun setelah mengetahui bahwa We Tenriyabeng  merupakan saudara kandungnya sendiri, mereka tidak bisa menikah. Akhirnya Sawerigading meninggalkan Luwuk. Dalam perjalanan ke Cina, di Wajo ia bertemu We Cudai seorang wanita yang mirip sekali dengan We Tenriyabeng. Mereka menikah dan lahirlah La Galigo. Pementasan Makduta berlangsung kurang lebih 10 - 15 menit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar